
Ramai Raja Ampat, Begini Fatwa Lengkap MUI Soal Aktivitas Pertambangan
16/06/2025 18:01 ADMINJAKARTA, MUI.OR.ID — Gelombang penolakan terhadap rencana aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, terus meluas. Penolakan ini datang dari berbagai elemen masyarakat: pelaku pariwisata, akademisi, tokoh adat, hingga pemuka agama.
Pemerintah pun mencabut izin pertambangan. Perusahaan tambang yang izinnya telah dicabut, yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham, diduga melanggar sejumlah aturan yang berlaku. Salah satu rujukan utamanya adalah Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Keanekaragaman Hayati Raja Ampat, yang menegaskan bahwa kawasan ini berfungsi sebagai wilayah konservasi yang tidak dapat dialihfungsikan untuk kegiatan ekstraktif seperti pertambangan.
Namun terhadap PT GAG Nikel yang merupakan anak perusahaan PT ANTAM tetap diizinkan untuk beroperasi.
Penolakan ini bukan hanya berpijak pada kepedulian ekologis, melainkan juga pada dasar etis dan keagamaan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan posisi keagamaannya melalui Fatwa Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, yang menyatakan bahwa aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan diharamkan secara syar'i.
Prinsip utama dalam kegiatan tambang adalah mendatangkan kemaslahatan (mashlahah), bukan kerusakan (mafsadah).
Fatwa tersebut tidak hanya berdasarkan realitas empiris seperti kerusakan akibat tambang ilegal, pelanggaran terhadap AMDAL, dan konflik sosial tetapi juga memiliki landasan kuat dalam Alquran.
Salah satu ayat yang dijadikan rujukan utama adalah:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
٥٦
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 56)
Ayat ini secara tegas melarang tindakan yang merusak lingkungan setelah Allah menetapkan keseimbangan dan keteraturan alam.
Dalam konteks pertambangan, ayat ini menjadi dasar yang mengingatkan bahwa eksploitasi tanpa kendali adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah manusia sebagai khalifah di bumi.
MUI juga mengutip ayat lain yang menegaskan bahwa manusia diberi tanggung jawab untuk memakmurkan bumi, bukan mengeksploitasinya secara serakah:
اَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِههِمْۗ كَانُوْٓا اَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَّاَثَارُوا الْاَرْضَ وَعَمَرُوْهَآ اَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوْهَا وَجَاۤءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنٰتِۗ فَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَۗ
٩
“Tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Para rasul telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Allah sama sekali tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi dirinya sendiri.” (QS Ar-Rum: 9)
Kedua ayat tersebut menjadi pengingat bahwa pembangunan, termasuk melalui pertambangan, harus dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan lingkungan dan tanggung jawab spiritual.
MUI melalui Fatwa Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan menetapkan sejumlah ketentuan hukum mengenai praktik pertambangan dalam perspektif Islam. Beberapa poin penting antara lain:
1. Pertambangan boleh dilakukan sepanjang untuk kepentingan kemaslahatan umum, tidak mendatangkan kerusakan, dan ramah lingkungan
2. Agar sah secara syar’i, praktik pertambangan harus memenuhi syarat berikut:
a) harus sesuai dengan perencanaan tata ruang dan mekanisme perizinan yang berkeadilan
b) harus dilakukan studi kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku kepentingan (stake holders)
c) pelaksanaannya harus ramah lingkungan (green mining)
d) tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta perlu adanya pengawasan (monitoring) berkelanjutan
e) melakukan reklamasi, restorasi dan rehabilitasi pascapertambangan
f) pemanfaatan hasil tambang harus mendukung ketahanan nasional dan pewujudan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat UUD; dan
g) memperhatikan tata guna lahan dan kedaulatan teritorial
3. Pelaksanaan pertambangan sebagaimana dimaksud angka satu wajib menghindari kerusakan (daf’u al-mafsadah), yang antara lain:
a) menimbulkan kerusakan ekosistem darat dan laut
b) menimbulkan pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi (siklus air)
c) menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati yang berada di sekitarnya
d) menyebabkan polusi udara dan ikut serta mempercepat pemanasan global
e) mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar
f) mengancam kesehatan masyarakat
4. Kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana angka 2 dan angka 3 serta tidak mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, hukumnya haram.
5. Dalam hal pertambangan yang menimbulkan dampak buruk sebagaimana angka 3, penambang wajib melakukan perbaikan dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.
6. Mentaati seluruh ketentuan peraturan perundangundangan untuk mewujudkan pertambangan ramah lingkungan hukumnya wajib.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa rencana pertambangan di Raja Ampat belum memenuhi banyak syarat tersebut. Masyarakat adat tidak dilibatkan secara bermakna, risiko terhadap ekosistem laut sangat tinggi, dan potensi konflik sosial tak terhindarkan. Dalam konteks ini, penerapan prinsip-prinsip Islam tentang keadilan, pelestarian, dan partisipasi menjadi sangat relevan. (Latifahtul Jannah, ed: Nashih)
Link fatwa sebagai berikut: Fatwa Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan
Tags: raja ampat, fatwa tambang, fatwa tambang mui, mui pertambangan, mui fatwa tambang